Minggu, 7 September 2008 | 10:39 WIB
Rubrik Konsultasi Kesehatan asuhan Prof Dr Samsuridjal Djauzi di surat kabar KOMPAS edisi Minggu :
Paman saya (57) mengalami sakit ginjal kronis. Selama dua tahun ini dia berusaha mempertahankan fungsi ginjalnya yang cenderung menurun dengan pengaturan makan dan minum obat.
Namun, minggu lalu dokter menyatakan dia masuk dalam keadaan gagal ginjal terminal dan memerlukan terapi cuci darah. Berita ini mengejutkan kami sekeluarga. Memang sebagai pegawai negeri paman mendapat dukungan pembiayaan melalui asuransi kesehatan, tetapi belum terbayangkan bagaimana sulitnya menjalani cuci darah.
Beliau harus rutin pergi ke rumah sakit, cuci darah berjam-jam. Belum lagi membayangkan tusukan jarum yang besar setiap kali akan cuci darah.
Kekhawatiran kami bertambah setelah mendapat informasi bahwa tindakan cuci darah berpotensi menularkan penyakit, seperti hepatitis B dan HIV.
Sekarang paman mulai ragu untuk cuci darah. Padahal menurut dokter, jika tak menjalani cuci darah, keadaan kesehatan paman akan memburuk seiring dengan meningkatnya kadar ureum dan kreatinin dalam tubuh paman.
Sekarang paman tampak lemah, pucat, dan mengalami mual. Sehabis makan tak jarang beliau mual dan memuntahkan makanan yang telah dimakan.
Mohon penjelasan dokter mengenai manfaat cuci darah dan risiko penularan infeksi ini. Benarkah tindakan cuci darah dapat menularkan penyakit melalui mesin cuci darah yang dipakai bersama? Terima kasih atas penjelasan dokter dan kami amat menantikan penjelasan tersebut agar paman saya merasa yakin menjalani cuci darah. Terima kasih.
O di J
Penyakit gagal ginjal kronis masih merupakan masalah kesehatan di negeri kita. Pada keadaan gagal ginjal terminal sebenarnya pilihan terapi adalah cangkok ginjal dan tindakan cangkok ginjal telah lama dikerjakan di negeri kita.
Cangkok ginjal di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala sehingga terapi ini belum dapat berkembang luas. Kendala pertama, donor ginjal yang terbatas karena sampai sekarang ginjal yang digunakan ginjal orang hidup. Di banyak negara kekurangan donor ginjal dipecahkan dengan menggunakan ginjal yang berasal dari kadaver (jenazah).
Sebenarnya di Indonesia kalangan agama juga telah mendukung penggunaan ginjal kadaver, tetapi tampaknya penggunaan ginjal kadaver belum mulai dilaksanakan.
Kendala kedua, biaya cangkok ginjal cukup mahal sehingga tidak terjangkau sebagian besar pasien yang memerlukan tindakan ini. Sebagai alternatif cangkok ginjal pada terapi gagal ginjal terminal adalah terapi cuci darah.
Zat-zat yang seharusnya dikeluarkan ginjal karena ginjal tak berfungsi pada keadaan gagal ginjal terminal menumpuk di darah. Dengan terapi cuci darah, zat-zat tersebut dapat dikeluarkan sehingga tubuh tidak mengalami akibat buruk. Pengeluaran ini dilakukan berkala sehingga cuci darah biasanya dilakukan tiga kali seminggu.
Pada pasien yang memerlukan cuci darah dalam jangka waktu panjang, dokter biasanya mempersiapkan agar pembuluh darahnya mudah dicari dan dipasangi jarum yang diperlukan. Sebenarnya diharapkan pada masa depan cangkok ginjal semakin berkembang di Indonesia sehingga pasien cuci darah dapat ditolong dengan cangkok ginjal.
Sebagai tindakan kedokteran pada umumnya tentu cuci darah mempunyai manfaat dan risiko. Namun, manfaat cuci darah jauh lebih besar dari risiko yang mungkin timbul. Cuci darah telah lama menolong ribuan orang gagal ginjal terminal di Indonesia.
Sebagian orang yang menjalani cuci darah dapat melakukan aktivitas seperti biasa sehingga kualitas hidupnya baik. Pada tindakan cuci darah memang ada risiko penularan penyakit infeksi yang ditularkan melalui darah, seperti hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.
Namun, para pakar penyakit ginjal di Indonesia yang tergabung dalam Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) telah mengeluarkan panduan untuk mencegah penularan penyakit infeksi pada tindakan cuci darah yang mungkin terjadi dari pasien ke pasien ataupun dari pasien ke petugas kesehatan.
Pada dasarnya rekomendasi Pernefri mencakup tindakan pengamanan pada manusia (baik pasien maupun petugas kesehatan), penggunaan mesin cuci darah, dan sistem dalam layanan cuci darah.
Risiko penularan yang lebih sering adalah hepatitis B, sedangkan risiko penularan hepatitis C dan HIV lebih kecil. Karena itulah pasien gagal ginjal kronis dianjurkan mendapat vaksinasi hepatitis B. Begitu juga petugas kesehatan yang melayani cuci darah, juga perlu vaksinasi hepatitis B.
Penggunaan ulang beberapa komponen dalam cuci darah pada pasien hepatitis B tidak dibolehkan. Pedoman ini merupakan rujukan untuk pelaksanaan cuci darah di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan risiko penularan penyakit infeksi pada layanan cuci darah di Indonesia dapat minimal.
Sebenarnya saya juga menerima beberapa surat dan surat elektronik yang menanyakan risiko penularan penyakit infeksi pada cuci darah. Mudah-mudahan jawaban ini dapat sekaligus menjawab pertanyaan tersebut. Saya juga berharap paman Anda dapat memperoleh informasi lebih lengkap mengenai cuci darah sehingga dapat menjalaninya dengan penuh keyakinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar